Merenung dan menatap
pohon besar yang tepat berada di depan jendelanya adalah aktivitas keseharian
Agnes setelah pulang sekolah. Agnes adalah anak gadis blasteran Bali-Jepang yang
memiliki wajah imut, berkulit putih, memiliki mata coklat yang sangat hangat dan
senyum yang ramah. Dua tahun sudah sejak kematian kedua orang tuanya ia berubah
menjadi anak yang pendiam, kaku, dan dingin terhadap semua orang kecuali
Andreano Rengga Putra yang tak lain adalah kakaknya sendiri. Ia selalu berusaha
bersikap riang di hadapan kakaknya.
Matahari sudah
menampakan dirinya, terdengar suara teriakan yang membangunkan Agnes “Agnes
cepat bangun !! hari sudah siang kau akan terlambat ke sekolah…”suara teriakan
Andre hamper melubangi gendang telinga Agnes.
“Ya, aku sudah
bangun!!”sahut Agnes dengan lesu dan matanya agak menghitam karena tak tidur
semalaman.
Saat keluar dari kamar aroma nasi goreng menariknya menuju meja makan. Kakaknya adalah kakak yang baik, dia bekerja sebagai Head Chef di sebuah restoran terkenal. “Sungguh gadis pemalas, mana ada pria yang mau mendekatimu jika kau malas begini?”Kata Andre sambil menyunggingkan bibirnya. “Aku tak perduli!” jawab Agnes ketus..
“Hei sekarang ada PR ga ?” Tanya seorang gadis yang tiba-tiba memegang bahu Agnes dan membuatnya terperanjat. “Kau mengagetkanku saja Tar”Agnes menjawab dengan kesal
“hehe… sorry sorry,, lagian lo kebiasaan jalan sambil melamun seperti itu, kesambet baru tau rasa”balas Tari sambil meledek. Tari adalah teman Agnes dari SD. Tari adalah gadis Jakarta yang memiliki tubuh tinggi semampai, wajah yang cantik, dan berkulit putih, dia juga sering menjadi model freelance. Dia merasakan bagaimana perubahan Agnes sejak kejadian itu, dia juga menjadi teman menangis Agnes saat ia mengingat orang tuanya.
“Tuh kan ngelamun lagi, ngelamunin apa sih ? cowok yaaa ? haha…”ledek Tari seakan ingin menghibur temannya itu. “Apa sihh…? Lagi ga enak badan tau kemarin ga tidur semalaman karena gw sempat mimpiin Ayah dan Ibu..” Ratap Agnes sedih.
Denting bel pun berbunyi, suasana ramai anak SMA begitu terlihat di sini. Begitu juga Agnes dan Tari yang bergegas memasuki ruangan.
“Hari yang menyebalkan”
keluh Tari. “Dasar guru killer, dikira kaki gw ga capek apa berdiri satu jam
pelajaran” imbuhnya dengan kesal.
“Lo juga suh siapa suruh ga buat PR udah tau tu guru galak mampus”balas Agnes dengan datar.
Suasana hening sejenak
hanya terdengan obrolan anak SMA lain yang sedang ngerumpi di kafe tersebut.
Café Teduh adalah café favorit Agnes dan Tari karena sesuai namanya café ini
memang membuat teduh hati pengunjungnya.
“Udahlah jangan di bahas.. ga kerasa dua bulan lagi kita sudah ujian ya?” elak Tari mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Iya cepet banget, sebentar lagi kita udah harus kuliah… Semoga masa kuliah itu lebih indah” Harap Agnes menambahkan.
“Adit mana sih..?”celetuk Tari kesal. Adit adalah teman satu permainan Agnes dan Tari, dia mempunya rambut yang ikal, walaupun agak pendek dia mempunya tubuh yang atletis, mereka berteman sejak SMP walaupun sekarang berbeda sekolah mereka tetap akrab.
“Hai girls…” Sapa suara laki-laki yang sudah dikenal dua gadis tersebut.
“Lama banget sih lo..? kering tau nunggunya.” Tari mendengus kesal. Agnes hanya tersenyum melihat kekesalan Tari.
“Sorry tadi gw ada urusan mendadak sebentar, tapi udah selesai kok” kata Adit sambil tersenyum lebar tanpa rasa bersalah.
“Emang urusan apa sih?..” Tanya Tari penasaran
“Ada dehh…. Mau tau aja lo urusan orang” Ledek Adit sambil melihat ke segala arah mencari pelayan. Saat sudah di lihatnya dia menaikan tangan member isyarat agar pelayan tersebut mendekat ke mejanya. Sekilas Agnes menoleh pelayan itu dan pandangannya kembali masuk ke dalam buku yang ia baca
“Mochacino satu ya mas ? kalian mau pesen lagi gak ?” Tanya Adit
“Gw mau dah waffle coklat sama lemon tea satu ya mas, Lo mau ga Nes? Tanya Tari. Agnes hanya menggeleng yang berarti ia memberi isyarat “TIDAK”
Sesaat kemudian pelayan itupun pergi. Obrolan merekapun mulai ngelantur, hingga sore hari tiba dan memisahkan mereka.
Pagi yang cerah menyambut para mahasiswa baru untuk menjalani OSPEK pertama mereka, Agnes terpisah dari teman-temannya. Agnes yang kuliah di Bali dan tinggal bersama neneknya sedangkan Adit harus pindah ke Singapura karena urusan bisnis ayahnya dan meneruskan kuliah di sana, sementara Tari menetap di Jakarta mulai menjauhkan hubungan di antara mereka bertiga.
Dengan tergesa-gesa
seorang gadis berkepang lima dan membawa embel-embel MOS di badannya berlari
dan terengah-engah, tepat pada saat itu berjalan seorang laki-laki yang memakai
jas almamater dan sedang melihat handphone tanpa melihat ke depan. Tak diduga
gadis yang berlari tadi sudah menabrak laki-laki tersebut.
“Eh… maaf maaf saya lagi buru-buru” Kata gadis tersebut dengan perasaan takut.
“Kalo jalan liat-liat dong” Balas laki-laki itu jengkel yang masih menunduk membelakangi gadis itu dan mengumpulkan bagian handphonenya yang berserakan dan terlempar cukup jauh.
“Loh.. bukannya kamu yang jalan sambil ngeliat HP terus ?” Kata gadis itu sambil mendengus,
“Udah ya saya pergi dulu.. udah terlambat nii”
Tepat pada saat itu laki-laki itu pun berdiri, perasaan shock mengahadapi gadis itu. Dia merasakan ketakutan dan kebencian yang teramat sangat berkecamuk di dalam hatinya. Yang dia tau saat ini adalah dia sangat membenci laki-laki itu.
“Sudah pergi sana..!!” Laki-laki itu bersuara dan nyelonong pergi
Dengan perasaan kesal
Agnes malalui hari-hari OSPEK-nya, apalagi ternyata setelah ia tau ternyata
laki-laki yang di tabraknya itu adalah BEM yang langsung menggojloknya. Selama
seminggu ini dia selalu berusaha menjauh dari senior yang sering mengerjainya
itu. Kitika suatu saat agnes bertemu dengan laki-laki itu di koridor kampus.
“Mau makan siang.?” Terdengar suara sok akrab yang menghampiri Agnes dan ia pasti tau siapa orangnya karena selama seminggu suara ini selalu menghiasi hari-hari OSPEKnya yang menyebalkan.
Hening sejenak. “gimana mau ga ?” Tanya laki-laki itu memecahkan suasana. Laki-laki ini bernama Wiswa, bertubuh tinggi, kurus,putih dan memiliki wajah yang tampan, banyak anak baru yang akan terpesona kalo melihatnya.
“Ngapain kakak ngajak aku makan siang? Bukannya selama ini kakak selalu membenci dan mengerjai aku ? “ Tanya Agnes berusaha bersikap sopan terhadap seniornya
“Ohh ayolah Nes, ngapain aku membencimu ? ga ada alasan bagiku untuk membenci wanita secantik kamu, lagipula waktu itu aku hanya bercanda” senyum lebar mengiasi wajah Wiswa. Tanpa diduga wajah Agnes merasa memerah. Apakah aku senang mendengar pujiannya? Agnes bertanya dalam hati.
“Okee baiklah.. aku mau” Kata Agnes mencoba bersikap ramah.
Café tersebut agak rame saat makan siang, selama beberapa menit mereka hanya memandang makanan mereka masing-masing.
“Kamu masih marah padaku?” Tanya Wiswa mulai mencairkan suasana.
“Tidak.. Aku tidak marah, aku hanya sedikit kesal karena kakak selalu mengerjaiku..” Balas Agnes sedih.
“Hey aku hanya menunjukan profesionalitasku didepan anak baru..”kata Wiswa sambil memegang kerah bajunya. “Dan akhir-akhir ini kau selalu menjauhiku..” tampangnya berubah muram.
“Buat apa aku berbaik hati dengan orang yang selalu mengerjaiku..” terdengar agak ketus memang,
tapi Agnes memang tak mau berurusan dengan orang ini sepanjang hidupnya.
“hmm, kau anak tunggal?” Tanya wiswa.
“Ga aku dua bersaudara dan kakak laki-lakiku tinggal di Jakarta” sahut Agnes sambil menyesap lemon tea-nya
“ Lalu orang tuamu bagaimana? Apakah mereka juga tinggal di Jakarta?” Tanya Wiswa tanpa memperhatikan raut wajah Agnes yang mulai berubah. Agnes merasa pertanyaan itu menghujam jantungnya, dia merasa sulit bernafas dan wajahnya pucat.
“Mereka sudah meninggal..” Agnes berkata pasrah
“Ohh… maafkan aku, aku tidak tau” Wiswa menjawab pelan dan terdengar dia juga merasakan penderitaan Agnes. Tidak tau ? bagaimana mungkin dia bisa melupakannya? Apakah kematian mereka begitu tidak berarti baginya? Atau memang bukan dia pembawa motor itu?. Tanpa diduga kata terakhir itu keluar begitu saja dari mulutnya, walaupun agak pelan Wiswa cukup mendengarnya.
“Pembawa motor siapa?” Tanya Wiswa heran
“ohh bukan apa-apa…” Dengan kaget dia menjawab seadanya
Keringat dingin mengucur di dahinya, mimpi buruk itu kembali menghantuinya. Motor merh dengan kecepatan tinggi yang menyebrang mendadak dan membuat sebuah mobil tersebut harus banting stir dan menabrak pohon besar, kemudian semua berubah menjadi gelap.
“Hai.. ngelamunin apa sih? Wajah kamu juga terlihat pucat, kamu sakit?” Diah bertanya dengan wajah cemas. Diah adalah teman Agnes saat pertama masuk kuliah, seperti gadis bali kebanyakan dia kelihatan manis dengan kulit sawo matang, rambut hitam, dan memiliki lesung pipit.
“aku ngga papa kok, santé aja. Eh aku pergi dulu ya lagi ada urusan..” sahut Agnes yang mulai memaksakan senyumnya.
Dua bulan berlalu hubungan mereka semakin dekat. Wiswa sering menelpon dan menanyakan apakah dia sudah makan lalu mereka mengobrol sampe larut malam. Agnes selalu merasa senang menerima telpon dari Wiswa, dia selalu tersenyum jika para gadis penggosip selalu menyebut nama Wiswa. Perasaan macam apa ini? “TIDAK” aku tak boleh lagi berhubungan dengannya. Bayangan kelam itu selalu berteriak di hati Agnes.
Dia hanya memandangi
laut dari atas Bukit Jimbaran, entah kenapa sejak pindah ke Bali dan kehilangan
pohon besarnya di Jakarta, Laut adalah teman yang begitu dekat dengannya. Dia
merasa ombak laut di Bali yang besar menghancurkan kekerasan hatinya.
“Ngapain bengong disini ?” suara laki-laki itu mengagetkan agnes dan ia tersentak berdiri. Dia menoleh melihat senyum ramah Wiswa.
“Aku hanya ingin memandangi laut karena kurasa hanya dia yang mengerti kekisruhan hatiku” Sahut Agnes lirih.
“Kamu sedang ada masalah?? Ceritakan padaku, tenang saja aku adalah pendengar yang baik” senyum tulis menghiasi bibir Wiswa yang membuat kehangatan menyelubungi tubuh Agnes.
“Apakah ada yang mengganggumu? Katakan padaku akan kubuat dia menyesal telah melakukan itu” raut wajah wiswa mulai beubah serius.”Tenang apabila ada yang mengganggumu katakan saja padaku, aku ada di sini dan akan selalu manjagamu” tanpa disadari tangan Wiswa mulai memegang bahu Agnes.
Perasaan berkecamuk di hari Agnes. Mungkinkah dia benar-benar akan menjagaku? Bagaimana mungkin dia bisa menjagaku ? Jika saja dia ingat kejadian tiga tahun yang lalu itu apakah dia masih akan menjagaku?.Teriakan di dalam hatinya semakin membuat matanya panas, dia tertegun dan mencoba menahan air matanya. Wiswa merasakan perubahan di raut wajah Agnes.
“Kenapa kau tidak menjawabku? dan apakah kau menangis?” Wiswa bertanya dengan ragu.
“Tidak aku tidak apa-apa” Agnes melepas tangan Adit dan meninggalkannya dengan rasa penasaran. Wiswa merasakan hatinya sakit begitu melihat gadis itu pergi dengan tertunduk dan berlari kecil.
Wiswa menatap layar HPnya dengan gelisah, sudah seminggu Agnes tak pernah mengangkat telpon darinya, Agnes juga jarang terlihat di kampus, dis selalu pergi setelah kelasnya usai.”Apa yang terjadi padanya? Apakah aku salah bicara?” Wiswa memutar HPnya sambil menggumam sendiri. Dia mencoba menghubungi Agnes lagi, namunn tetap saja usahanya sia-sia.
“Kenapa kau menghindar dariku?” suara wiswa terdengar keras sehingga semua mahasiswa yang berada di koridor itu menoleh termasuk juga gadis yang membelakanginya. Wiswa menarik lengan
gadis itu “Ayo ikut aku” sekarang ia sedikit memelankan suaranya.
“Ada apa denganmu.?” Tanya Wiswa pelan namun mantap. Agnes hanya mengaduk pelan lemon tea di depannya dengan tatapan kosong dan tak berkata apa-apa
“Kau juga menjauhiku..” Suara Wiswa mulai terdengar lirih. Agnes menatap mata Wiswa namu tetap tak berkata apa-apa dia sama sekali tak ingin membahasnya saat ini, dia beruntung karena Wiswa tak mendesaknya lagi, dia hanya menunduk.
Tiga puluh menit berlalu mereka hanya diam dan menunduk. Agnes bangkit dan Wiswa mulai menatapnya dengan heran. “Maukah kau antarkan aku pulang.? Aku rasa aku ga enak badan” Agnes mengakhirinya.
“Baiklah..” Wiswa hanya menjawab seadanya.
Wiswa juga berdiri dan melangkah keluar menyusul Agnes. Tepat saat mereka ingin masuk ke dalam mobil terdengar dentuman dari jalanan tepat di depan mereka. Agnes hanya berdiri terpaku, tangannya terkepal, badannya terasa kaku, wajahnya pucat dan dingin. Bayangan masa lalu mulai merasukinya. Wiswa melihat Agnes dengan pandangan menerawang, dia ingat kejadian tiga tahun lalu, dan dia melihat mata itu, dia melihat seorang anak perempuan yang meringkuk dengan ketakutan, wajahnya pun mulai pucat, dia mendekati Agnes yang masih kaku dan tanpa disadari tangan Wiswa berada melingkar di badan Agnes. Wiswa memeluknya. Agnes tak kuasa menahannya dia membiarkan Wiswa memeluknya. Kehangatan menyelubungi tubuhnya dia merasa terlindungi dalam pelukan Wiswa.
“Maafkan aku..” Wiswa tercekat. “Apapun yang sudah kulakukan aku minta maaf” kali ini Wiswa merasakan tubuhnya bergetar. Mungkinkah aku bisa memaafkannya? Bisakah aku melupakan kejadian dimana orangtuaku harus pergi selamanya?. Agnes bergetar merasakan hatinya sangat sakit. Dia dihadapkan pada pilihan mencintainya atau membencinya. Agnes terlalu mencintai laki-laki ini, laki-laki yang sudah menyebabkan dia kehilangan orang tuanya.
Agnes melepaskan pelukan Wiswa dengan paksa dan berlari menghindari pemandangan yang mengerikan itu. Wiswa mengejarnya. Agnes terus berlari sampai saat ia berbalik dan mendengar teriakan orang-orang disampingnya.
Air matanya terus menetes melihat Wiswa terbaring lemah di ruang UGD, sesaat kemudian dokter keluar dan bertanya “Apakah anda keluarganya..?”. Tanpa berkata-kata Agnes hanya mengangguk
dan mengumpulkan segenap kekuatannya untuk bertanya “Bagaimana keadaanya..?” suaranya terdengar lirih.
“Tenang saja, saat ini dia hanya butuh istirahat, tak ada luka parah.” Dokter menegaskan. Perasaan lega mulai menjalar di tubuh Agnes.
“Apakah saya boleh menjenguknya.?” Agnes mulai memberanikan diri.
“Tentu saja, dia pasti sangat ingin bertemu dengan anda..” Dokter tersenyum. “Anda yang bernama Agnes kan? Daritadi dia memanggil nama anda sebelum kami suntik bius dan akhirnya dia tertidur..” Dokter menambahkan.
Agnes memegang tangan Wiswa. Tiga Hari sudah mereka menunggu, namun Wiswa belum sadarkan diri juga. Orang tua Wiswa awalnya terlihat khawatir, Agnes menyuruh mereka pulang karena mereka sudah terlihat lelah di usia tuanya.
“Kenapa kau tidak
bangun bodoh..?” Agnes tersenyum sambil meteskan air mata. Dia memegang tangan
Wiswa sampai dia melihat sebuah benda di saku Wiswa. Agnes mengambilnya. Ternyata
sebuah kotak biru kecil seperti kotak cincin. Agnes membuka kotak kecil itu dan
melihat sebiah cincin emas putih dengan tulisan “Agnes” di tengahnya. Ada sebuah
surat kecil juga disana.
Aku
tidak tahu harus berkata apa, kau begitu membingungkan. Kadang-kadang baik dan
kadang-kadang mulai menjauhiku lagi. Agnes tersenyum
membaca surat itu.
Apapun
yang kulakukan aku minta maaf kepadamu, melepas semua keegoisanku dan semua
rasa bersalahku aku ingin mengatakan “AKU MENCINTAIMU”.
Sekarang Agnes memeluk surat kecil itu dan memkai cincin itu di jarinya yang
mungil.
“Aku juga mencintaimu..” dia berbisik kepada Wiswa, dia yakin Wiswa mendengarnya.
Dua bulan telah
berlalu, setelah Wiswa keluar dari Rumah Sakit Agnes selalu menemaninya. Dia
mulai melupakan kisah masa lalunya. Wiswa juga sudah meminta maaf dan mengakui
semua itu karena remnya blong dan tak bisa menghindar. Agnes mulai menatap
langit Bali yang mendung setelah berhari-hari hujan, sebuah pelangi melingkar
indah member warna di atas langit tersebut.
“Heyy gadis bodoh.. Kau mau terlambat ke kampus..?” Wiswa memanggilnya. Agnes hanya tersenyum.
“Begitukah caramu memperlakukanku setelah kau berjanji menjagaku.? Jemput aku ke sini dan perlakukan aku seperti Ratu” Agnes menggodanya
Wiswa berlari ke arah Agnes, membungkuk dan menjulurkan tangan seperti seorang pangeran yang menjemput putrinya.
“Ayo.. berangkat sang putri”. Agnes bangun dan berjalan dengan tertawa riang.
TAMAT..